Sabtu, 16 April 2011

Tanggapan terhadap Tulisan Sekolah Theologia PLP Nehemia

Saya coba menanggapi buku kecil yang dikeluarkan Sekolah Theologia PLP Nehemia. Saya sangat khawatir orang Islam yang awam akan bisa terpengaruh, atau orang non-muslim menjadi punya pandangan negatif terhadap Islam. Semoga bermanfaat untuk meluruskan pandangan yang salah terhadap Islam. Agungy

Tanggapan atas makalah : "Lima Alasan-alasan Pokok tentang Isi Al-Quran yang Menyebabkan Kami Meninggalkan Agama Islam dan Beralih Memeluk Agama Kristen

Yang dikeluarkan oleh : Sekolah Theologia PLP Nehemia

Tulisan saya mencoba menjawab makalah di atas. Suatu tuduhan seharusnya memiliki hujjah yang kuat dan benar, tanpa dibarengi kedengkian. Tulisan tentang lima alasan pokok ini lebih banyak berisi fitnah tanpa dasar, dan memuat kedengkian-kedengkian terhadap Islam. Saya akan memberi tanggapan secara berurutan dari tulisan tersebut.

Cuplikan : KATA PENGANTAR "Al-Quran bukanlah kitab Ilahi yang suci, yang memuat wahyu, karya, firman, hukum, janji, nubuat Allah sebagaimana halnya dengan isi Al-Kitab, melainkan hanya satu kitab insani belaka, yaitu satu kitab yang isinya terdiri dari 75 % hasil saduran dan jiplakan dari Al-Kitab (Taurat dan Injil) ditambah 25 % dengan hasil fikiran, rekaan, imajinasi, pendapat dan tafsiran dari Muhammad dan rekan-rekannya yang menulis Al-Quran itu sendiri seperti antara lain Zaid bin Tsabit, Muawiyah, Utsman bin Affan, Ubay bin Kaab, dll.

Tanggapan :

Banyak tuduhan bahwa Rasulullah Muhammad SAW dalam menyusun Al-Quran belajar dari Pendeta nasrani Bahira dan Waraqah bin Naufal. Dalam sirah (sejarah), Rasulullah bertemu dengan Bahira sewaktu Beliau diajak pamannya Abu Thalib dalam perjalanan dagang ke Syam dan bertemu dengan pendeta nasrani bernama Bahira, yang mempunyai firasat bahwa ia melihat tanda-tanda kenabian pada wajah dan kedua bahu beliau. Saat itu Bahira bertanya kepada Abu Thalib:"Apa hubungan anak ini dengan Anda?" Dijawab oleh Abu Thalib: "Dia anakku!" Bahira menyangkal: "Tidak mungkin ayah anak ini masih hidup!" Abu Thalib menerangkan: "Dia anak saudaraku. Ayahnya meninggal dunia di saat ia masih dalam kandungan ibunya." Bahira menyarankan: "Anda benar, ajaklah ia pulang ke negeri Anda, dan hati-hatilah terhadap orang-orang Yahudi."

Jadi jelas bahwa pertemuan Rasulullah dengan Bahira hanya sebentar dan tidak ada transfer ilmu dari Bahira kepada Rasulullah SAW. Bahira melihat tanda-tanda kenabian sebagaimana sebagian shahabat yang dahulunya beragama nasrani seperti Salman al-Farisi dan Adi bin Khatim, yaitu dari wajah, bahu dan keyatiman beliau. Sedangkan pertemuan Rasulullah dengan Waraqah terjadi sehabis Rasulullah menerima wahyu dan beliau dilanda ketakutan. Khadijah, isteri Rasulullah, mengajak Rasulullah menemui Waraqah bin Naufal - salah seorang anak paman Khadijah. Ia dapat menulis dalam huruf Ibrani dan iapun menulis bagian-bagian dari Injil dalam bahasa Ibrani. Ia seorang yang sudah lanjut usia dan telah kehilangan penglihatan. Kepadanya Khadijah berkata: "Anak pamanku, dengarkanlah apa yang hendak dikatakan oleh anak lelaki saudaramu (Rasulullah)!" Waraqah berkata kepada Muhammad saw: "Hai anak saudaraku, ada apa gerangan?" Rasulullah kemudian menceritakan apa yang dilihat dan dialaminya di dalam goa Hira. Setelah mendengarkan keterangan Rasulullah SAW, Waraqah berkata: "Itulah Malaikat yang diturunkan Allah kepada Musa... Alangkah bahagianya seandainya aku masih muda...! Alangkah gembiranya seandainya aku masih hidup pada saat Anda diusir oleh kaum Anda...!" Rasulullah saw bertanya: "Apakah mereka akan mengusir aku?" Waraqah menyahut: "Ya, belum pernah ada orang datang membawa seperti yang anda bawa itu yang tidak dimusuhi. Seandainya kelak aku masih hidup dan mengalami saat kenabian Anda, pasti Anda kubantu sekuat-kuatnya." Tidak lama kemudian Waraqah meninggal dunia.

Jadi jelas pula bahwa Rasulullah tidak belajar agama dari Waraqah bin Naufal. Bahkan baik pendeta Waraqah dan Bahira keduanya mendukung kenabian Rasulullah saw. Cukup menarik bahwa banyak pendeta-pendeta nasrani yang beriman kepada Rasulullah. Raja Najasy (Negus) dari Habsyahpun beriman dan menangis ketika dibacakan Al-Quran surat Maryam oleh Ja'far bin Abi Thalib. Barangkali itulah yang difirmankan Allah SWT: "Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang beriman ialah orang-orang yang berkata: "Sesungguhnya kami ini orang Nasrani". Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri".

Apalagi jika dikatakan 75 % Al-Quran adalah saduran dari Al-Kitab. Perlu diketahui Al-Quran adalah kitab suci yang bersifat syamil dan kamil (lengkap dan sempurna). Di dalamnya ada masalah akidah (tauhid Laa ilaha illa Allah), ibadah, hukum-hukum al.: pidana, perdata, muamalah,perintah mencatat transaksi (akuntansi), kenegaraan, hubungan antar negara, dll, akhlaq, kisah-kisah. Sehingga khazanah perbendaharaan ilmu Islam sangat kaya dan tiada habis-habisnya digali. Bandingkan dengan isi Perjanjian Baru, yang sedikit sekali berisi hukum. Bagaimana mungkin bisa dikatakan Al-Quran menyadur dari Injil. Kalau memang ada persamaan merupakan hal yang wajar karena berasal dari sumber yang sama, dimana menurut keyakinan kami Injil dan Taurat juga merupakan firman Allah SWT tetapi sudah banyak dirubah oleh pendeta-pendetanya.

Lagipula, Rasulullah saw dikenal sebagai nabi yang ummiy (buta huruf), maka tidak mungkin Rasulullah saw mengambil Al-Kitab (Injil dan Taurat) sebagai rujukan dalam menyusun Al-Quran. Selama 22 tahun masa kenabian (penerimaan wahyu), Rasulullah dan para shahabatnya senantiasa dalam kondisi kesibukan dan tekanan yang tinggi. Selama 13 tahun di Makkah mendapat siksaan, intimidasi, pemboikotan, pembunuhan, pengusiran, dan selama 10 tahun di Madinah Rasulullah menjadi kepala pemerintahan yang tidak kurang mengalami 80 kali peperangan besar dan kecil. Maka tidak mungkin dalam kesibukan yang sangat tinggi tersebut Rasulullah menyusun sendiri Al-Quran. Padahal muatan dan kandungan Al-Quran demikian luar biasa, dimana keluarbiasaannya tidak akan saya jelaskan dalam tulisan ini, insya Allah, di kesempatan mendatang.

Tuduhan berikutnya, bahwa para shahabat ra membantu penyusunan Al-Quran. Ini merupakan tuduhan yang mengada-ada. Sebelumnya perlu diketahui, bahwa banyak sekali para shahabat yang menjadi penghafal Al-Quran, setiap kali ada ayat/wahyu turun langsung dihafal dan sebagian ditulis oleh para shahabat. Hingga pernah dalam suatu perang lebih kurang 70 hafidz (julukan bagi orang yang hafal Al-Quran) menemui syahid. Hal inilah yang mendorong keinginan Utsman bin Affan ra, menghimpun Al-Quran dalam satu buku yang sebelumnya terpisah-pisah dan banyak dihapal oleh para shahabat atau tabi'in. Tradisi menghafal Al-Quran masih ada hingga sekarang. Maka jika ada yang merubah Al-Quran, secepatnya akan segera diketahui.

Zaid bin Tsabit, ketika Rasulullah hijrah ke Madinah (tahun ke-13 kenabian) usianya baru 11 tahun, berarti sudah 13 tahun wahyu turun. Maka apakah logis jika dikatakan Zaid bin Tsabit ikut membantu Muhammad SAW mengarang Al-Quran. Demikian pula Muawiyah, beliau masuk Islam di masa akhir kenabian Rasulullah saw. Mereka para shahabat adalah orang-orang yang zuhud (sederhana), memiliki kebiasaan menangis ketika membaca Al-Quran, menghabiskan hidupnya untuk berjihad di jalan Allah. Mungkinkah mereka berlaku seperti itu jika Al-Quran itu mereka yang membuatnya sendiri.

Jadi kata pengantar tulisan tersebut berisi tuduhan-tuduhan tanpa dasar, yang tidak mempunyai landasan ilmiah sama sekali

PENOLAKAN ATAS PERINTAH WAJIB SHALAT 5 (LIMA) KALI SEHARI-SEMALAM DALAM BAHASA ARAB DENGAN KIBLAT KE MEKKAH

Cuplikan : Pada waktu Mohammad dan pengikut-pengikutnya tiba di Madinah karena terpaksa hijrah dari Makkah, di kota itu terdapat banyak bangsa Yahudi yang walaupun tidak berupa kelompok mayoritas, namun punya pengaruh besar di kota itu khususnya di bidang kepemerintahan, ekonomi dan sosial budaya. Bangsa Yahudi ini dengan sendirinya fanatik beragama setiap harinya melaksanakan ibadah sembahyangnya dengan kiblat ke Yerusalem.

Karena posisi Mohammad dan pengikut-pengikutnya pada waktu itu masih lemah dan berstatus "menumpang di negeri orang", maka arah kiblat bagi pengikut-pengikutnya pada waktu shalat ditetapkan oleh Mohammad juga ke arah Yerusalem sebagai suatu taktik penyesuaian, karena Mohammad mengklaim yang dibawanya itu adalah agama kelanjutan dari agama Yahudi dan agama Kristen.

Kiblat arah ke Yerusalem ini berjalan bertahun-tahun lamanya sampai pada satu saat Mohammad dan pengikut-pengikutnya merasa cukup kuat untuk mendominasi kota Madinah dengan mengusir bangsa Yahudi keluar dari sana yang memang betul-betul dapat dilaksanakan dengan kekuatan pedang (perang). Serentak dengan terusirnya bangsa Yahudi keluar Madinah, dengan alasan mendapat wahyu dari Alah, kiblat sholat ke arah Yerusalem dibatalkan oleh Mohammad dan digantinya dengan arah kiblat baru yaitu ke arah Mekkah karena di sana ada Baitullah / Rumah Allah yaitu apa yang kita kenal dengan Kaabah dan batu hitamnya sekarang ini (QS. AlBaqarah 142-145 dan 149-150).

Tanggapan : Nampak sekali, bahwa tulisan tersebut benar-benar tidak berdasar, tidak memahami sejarah, atau asal tuduh. Rasulullah telah mempersiapkan Madinah lama sebelum hijrah dengan mengirim seorang shahabat yang bernama Mush'ab bin Umair untuk mendakwahi penduduk Madinah. Bahkan sejumlah besar penduduk Madinah telah bersumpah setia kepada Rasulullah dalam Bai'ah al-Aqabah I dan II sebelum hijrah. Sehingga ketika Rasulullah hijrah, Madinah benar-benar telah siap menerima kedatangan Rasulullah saw, karena seluruh orang Arab penduduk Madinah telah memeluk Islam (kecuali beberapa kabilah dari kaum 'Aus dan orang-orang Yahudi). Bahkan, orang-orang yang belum berimanpun ikut-ikutan masuk Islam untuk mencari muka kepada Rasulullah dan kaum Muslimin, sehingga munculah orang-orang munafik.

Kedudukan Rasulullah dan kaum muslimin sedemikian kuat sehingga begitu datang Rasulullah langsung menjadi kepala negara. Jadi tidak benar kedudukan Rasulullah dan kaum Muslimin di Madinah pada waktu itu lemah dan berstatus "menumpang di negeri orang", sehingga harus mengambil hati orang-orang Yahudi dengan berkiblat ke Yerusalem (Baitul Maqdis, al-Aqsho).

Kemudian Rasulullah saw menulis Piagam Perjanjian antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar (Muslimin) dengan kaum Yahudi. Dalam perjanjian itu ditegaskan secara gamblang mengenai penetapan kebebasan beragama dan hak pemilikan harta benda mereka, serta syarat-syarat lain yang saling mengikat kesua belah pihak.

Adapun diusirnya orang-orang Yahudi dari Madinah bukan karena "Mohammad dan pengikut-pengikutnya merasa cukup kuat untuk mendominasi kota Madinah", karena mereka sudah kuat dan sudah mendominasi kota Madinah, tetapi disebabkan pengkhianatan dan pelanggaran orang-orang Yahudi terhadap perjanjian yang telah disepakati. Untuk jelasnya silahkan baca berbagai sirah yang tersedia di toko-toko buku.

Kaum Muslimin shalat berkiblat ke arah Qiblat Baitul Maqdis (Yerusalem) selama 16 bulan setelah hijrah. Setelah itu kiblat kaum Muslimin pindah ke Makkah. Jadi perpindahan arah kiblat terjadi sebelum pengusiran bangsa Yahudi dari Madinah. Sehingga pernyataan dalam tulisan tersebut: "Serentak dengan terusirnya bangsa Yahudi keluar dari Madinah, dengan alasan mendapat wahyu dari Allah, kiblat sholat ke arah Yerusalem dibatalkan oleh Mohammad ...", benar-benar tidak berdasarkan sejarah dan merupakan tuduhan yang dibuat-buat.

Ummat Islam sangat memuliakan Baitul Maqdis (Yerusalem) dan termasuk salah satu tempat suci. Di sanalah salah satu persinggahan Rasulullah ketika melakukan Isra' Mi'raj, sebagai kaitan hubungan yang erat dengan nabi-nabi sebelumnya. Jadi, jika dikatakan ummat Islam berkiblat ke Baitul Maqdis karena ikut-ikutan dengan orang Yahudi, adalah fitnah dan kebohongan besar.

Cuplikan : "Juga ditetapkan bahwa setiap orang Islam yang mengaku dirinya "mukmin" diwajibkan melaksanakan ibadah haji di Mekkah dengan kewajiban untuk mengelilingi Kaabah + Batu Hitam yang ada di dalamnya sebanyak 7x putaran dan pada setiap selesainya satu putaran harus ruku dan sujud menyembah serta mencium batu hitam di Kaabah itu sembari mengucapkan do'a: "Allahumma Labaik Bismillahi Allahu Akbar.."

Tanggapan : Di sini lagi-lagi terdapat ketidakbenaran yang sangat mencolok. Batuhitam (hajar aswad) tidak berada di dalam Ka'bah tetapi di samping Ka'bah. Dan disunatkan untuk mengusap dan mencium hajar aswad atau paling tidak memberi isyarat dengan tongkat, jadi BUKAN RUKU' DAN SUJUD kepada Hajar Aswad. Hal ini dilakukan kaum Muslimin karena mencontoh Rasulullah pernah melakukan yang demikian. Mengenai hikmahnya masih terdapat berbagai penafsiran, diantaranya: disyari'atkan mencium hajar aswad itu tidak lain hanyalah sebagai ujian, agar diketahui siapa yang betul-betul ta'at! Itu tak obahnya dengan kisah Iblis yang disuruh agar sujud kepada Adam" (Fiqih Sunnah Jilid 5 halaman 147).

Cuplikan : namun beberapa saat kemudian mereka ruku', sujud menyembah kepada Allah yang sudah berubah menjadi batu hitam yang ada dalam bangunan terbuat dari batu-bata diselubungi dengan kain hitam yang diberi predikat Baitullah/Kaabah yang ada di Mekkah itu. namun kenyataanya minimal 5 x dalam sehari semalam Allah hanya berada di Mekkah dalam Kaabah dalam bentuk batu hitam itu saja.

Tanggapan : Untuk masalah batu hitam, kami anggap selesai karena sebagaimana kami jelaskan di atas bahwa batu hitam tidak berada di dalam Ka'bah, dan ummat Islam tidak ruku dan sujud kepadanya.

Permasalahan berikutnya adalah mengenai arah kiblat, dimana ummat Islam dituduh ruku dan sujud menyembah Ka'bah, atau Allah hanya berada di dalam Ka'bah.

Untuk lebih jelasnya, kita sitir ayat yang menerangkan masalah (pemindahan) kiblat ini (QS. Al-Baqarah 142) :

"Orang-orang yang kurang akalnya di antara manusia akan berkata: "Apakah yang memalingkan mereka (ummat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis/Yerusalem) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?". Katakanlah: "Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus.

Surat Al-Baqarah 143 : "... Dan kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah..."

Surat Al-Baqarah 177 : "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan memerdekakan hamba sahaya (budak), mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang shabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa".

Dalam ayat-ayat Allah di atas nampak jelas posisi kiblat menurut Islam, yaitu :

  1. Sebagai pemersatu arah shalat, dan simbul kesatuan langkah dan persatuan ummat Islam.
  2. Membuktikan mana orang-orang yang benar imannya dan mana yang dusta, karena masalah pemindahan kiblat merupakan hal yang berat (seperti peristiwa Isra' Mi'raj).
Jadi benar-benar tidak pernah terbayang bagi ummat Islam untuk menyembah Ka'bah atau menganggap Allah hanya berada di dalam Ka'bah, silahkan Anda bertanya kepada setiap muslim.

Bagaimana halnya dengan agama Anda yang memunculkan tuhan-tuhan berbentuk patung (berhala) seperti salib, patung Yesus, Bunda Maria dll, dimana Anda berdo'a dihadapan patung-patung tersebut?

Cuplikan : 5. Bahwa Mohammad dengan Al-Quran-nya mewajibkan ummatnya melakukan do'a dan sholat dalam bahasa Arab berdasarkan wahyu Allah yang diterimanya dari Allah, adalah satu hal yang sangat diragukan. Apakah benar bahwa Allah itu hanya mengerti bahasa Arab saja?? Bukankah Allah itu bersifat universil - milik semua bangsa di dunia ini sehingga dengan sendirinya tidak terbatas pada satu bahasa saja?? ... "Ini adalah politik dominasi Arabisme" saja.....

Tanggapan : Alasan mengapa harus dipergunakannya bahasa Arab (bahasa Al-Quran) adalah sbb :

  1. Untuk menjaga orisinalitas Al-Quran baik dari segi tulisan maupun makna. Karena kata-kata dalam bahasa Arab tidak dapat sepenuhnya diterjemahkan dengan arti yang pas ke dalam bahasa lain. Arti kata Ilah tidak pas sama dengan Tuhan, dan kata Dien tidak sama dengan Agama. Oleh karena itu, sangat berbeda membaca Al-Quran dalam bahasa aslinya dengan membaca dalam terjemahan bahasa lain.
  2. Salah satu fungsi membaca dan mentadabburkan (merenungi dan memahamkan kandungan maknanya) adalah mengobati penyakit-penyakit hati (hasad, dengki, iri, riya (pamer), nifaq, dll), sebagaimana firman Allah bahwa Al-Quran dapat menjadi Syifaa limaa fish-shudur. Orang yang membaca Al-Quran akan merasakan ketenangan, kedamaian dan kesejukan hati. Dan ini tidak diperoleh dengan membaca terjemahan Al-Quran.
  3. Ciri orang yang beriman adalah jika membaca Al-Quran akan tergetar hatinya, dan manakala mendengar ancaman dari Allah akan tunduk, menyungkurkan muka sambil menangis (S. Al-Anfal ayat 2, S. As-Sajadah ayat 15). Hal ini akan sulit terjadi bila yang dibaca adalah Al-Quran terjemahan. Selain itu nilai sastra yang tinggi dari Al-Quran akan hilang jika sudah diterjemahkan dalam bahasa lain.
Hal-hal yang kami uraikan di atas mungkin belum bisa dipahami oleh yang belum merasakannya. Tapi bagi kami yang sudah merasakan, sungguh sangat berbeda membaca Al-Quran dengan membaca terjemahan Al-Quran!

Kemudian Anda katakan, hal itu merupakan Politik Dominasi Arabisme. Coba kita kaji ayat Allah dan hadits Rasulullah berikut ini :

Surat Al-Hujurat 13 :

"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal"

Hadits Rasulullah :

"Dengarkan dan patuhilah (perintah pemimpin) walaupun dia seorang Habsyi (Ethiopia) yang kepalanya seperti kismis (kecil, berambut pendek, keriting dan kusut)" (HSR. Bukhori)

"Tidak ada perbedaan antara orang Arab dengan Ajam (bukan Arab)"

Dalam firman Allah di atas jelas bahwa bangsa-bangsa dan suku-suku bukan ukuran kemuliaan, dan Rasulullah pun melarang orang Arab merasa dirinya lebih mulia. Dari keterangan-keterangan ini silahkan Anda mengambil kesimpulan sendiri.

PENOLAKAN II

MENOLAK SURAT 72 - AL JIN SEBAGAI ANEH DAN TIDAK MASUK DI AKAL SERTA KONTRADIKSIUS

Cuplikan : Dalam Al-Quran ada terdapat satu Surat no. 72 yang dinamakan Al-Jin yang isinya antara lain :

  1. Bahwa di dunia ini ada jin-jin yang saleh/mukmin dan ada jin-jin yang kafir (Mukadimah Surat Al-Jin)
  2. Bahwa manusia boleh atau dapat minta pertolongan dan perlindungan pada jin-jin yang saleh/mukmin tersebut (S. Al-Jin ayat 6)
  3. Bahwa jin-jin dapt memberi rezeki yang banyak kepada manusia (S. Al-Jin 16)
  4. Pada waktu Muhammad sedang sholat, dia dikerumuni oleh banyak jin-jin (Al-Jin 19)
Tanggapan : Lagi-lagi Alasan Penolakan ke-II ini berisi tuduhan yang tidak berdasar. Anda menyebutkan beberapa ayat Al-Quran tetapi tidak menuliskan isi ayat tersebut, bahkan memberi kesimpulan yang artinya bertolak belakang 180 derajat dengan ayat yang dimaksud.

Islam justru dengan tegas melarang ummatnya untuk berhubungan atau meminta pertolongan kepada jin-jin, baik jin mukmin maupun jin kafir. Anda menuduh Islam membolehkan manusia meminta pertolongan kepada jin dengan berdasarkan pada Surat Jin ayat 5, padahal ayat tersebut justeru melarang keras untuk meminta pertolongan kepada jin. Demikian terjemahan ayat tersebut :

"Dan bahwasanya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah mereka dosa dan kesalahan".

Karena ulah segelintir oknum dari ummat Islam, tidak bisa dijadikan dasar untuk mengeneralisir seluruh ummat Islam. Memang ada di antara ummat Islam, seperti debus di Banten, yang menggunakan kekuatan/pertolongan jin. Tetapi para ulama menganggap bekerja sama atau meminta pertolongan kepada jin merupakan suatu yang dilarang.

(bersambung, yg sampai sekarang belum sempat nulis sambungannya)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar